Saturday, November 19, 2016

Kultur Energi Konsumen: Meninggalkan Kultur Produsen untuk Kultivasi Energi Terbarukan

Yazid Bindar
Teknik Kimia, Teknik Pangan, Teknik Bioenergi dan Kemurgi, FTI, ITB yazid@che.itb.ac.id dan http://yazid-bindar.blogspot.co.id



Anugerah Reski

Minyak dan gas bumi adalah anugerah yang besar bagi setiap negara yang perut buminya terisi dengan bahan ini. Perlu diketahui, hanya sebagian kecil  perut bumi  berisi  bahan di atas. Maka beruntunglah negara yang perut buminya terisi bahan-bahan tersebut. Tentu Indonesia adalah salah satu negera yang beruntung. Penampilan ekonomi negara-negara yang memiliki dan tidak memiliki rezeki tersebut, memang sangat berbeda.

Lebih banyak negara-negara yang tidak kebagian reski minyak dan gas bumi dari yang kebagian. Nasibnya jelas berbeda dan tampilan juga  berbeda. Keberadaan dan ketidakberadaan ini ternyata bergantung pada bagaimana negara-negara itu menyikapinya. Banyak negara kaya ternyata tidak memiliki rezeki ini. Banyak juga negara yang memiliki rezeki ini, tetapi tidak mampu mengelolanya dengan baik.  

Minyak dan gas bumi menjadi komoditas global dunia. Setiap negara memerlukan komoditi ini. Bagi yang tidak memiliki, maka mereka akan membeli dari negara yang memilikinya.   Maka dari itu, sangat sulit bagi suatu negara produsen minyak dan gas bumi untuk mengisolasi ekonomi mereka untuk tidak dipengaruhi oleh harga minyak dan gas bumi internasional.
           

Kehidupan Nyaman

Transportasi berubah drastis.  Sepeda diganti dengan sepeda motor. Mobil dan sepeda motor memadati jalan di mana-mana. Penumpang pesawat di bandara sangat ramai seperti terminal bis. Kehidupan yang dianggap nyaman sudah terdongkrak.

Tuntutan kehidupan yang nyaman bagi generasi yang hidup sekarang makin besar. Ketika pasokan  bahan bakar bensin dan solar berkurang dan harga naik, keributan besar terjadi di mana-mana. Dulu, kelangkaan pasokan bahan bakar sepertinya tidak membawa keributan dalam skala seperti sekarang.

Tingkat kenyamanan yang dibutuhkan dan banyaknya orang berkorelasi langsung atau positif dengan keperluan bahan bakar (seperti Bensin, Solar, Pertamax, LPG)  dan Listrik. Mayoritas orang mengartikan bahwa kebutuhan ini akan selalu dapat dipenuhi pasokannya. Perolehan pasokan yang mudah dengan harga yang murah tentu membuat orang  terus menikmati kesenangan dan kenyamanan itu.  


Reski Terbatas

Keberadaan minyak dan gas bumi dalam perut bumi tidaklah seperti air. Air di bumi ini jumlahnya tetap dan apabila dia berubah bentuk akan kembali ke bentuk semula sehingga pasokannya secara makro tidak berkurang. Minyak dan gas bumi dalam pemanfaatannya berubah bentuk dan tidak akan pernah kembali ke bentuk semula setelah dipakai.

Rekayasa pembuatan minyak dan gas bumi oleh manusia juga tidak mungkin dilakukan. Sejarah pembentukan minyak dan gas dalam perut  bumi terjadi dalam waktu jutaan tahun menurut perkiraan para ahli. Pembentukan ini tidak ada campur tangan manusia sama sekali.. Kesimpulannya, minyak dan gas bumi sudah diberikan hanya sebanyak yang ada, silakan atur penggunaannya apakah mau dihabiskan sekarang atau dihemat-hemat.

Tuntutan kenyamanan hidup akan memerlukan pasokan bahan bakar yang selalu meningkat. Pertanyaannya adalah apakah kita akan tetap beranggapan bahwa minyak dan gas bumi itu akan selalu diproduksi oleh perut bumi.

Indonesia harus bersyukur bahwa reski minyak dan gas bumi ini ada dalam perut buminya. Ekonomi  masih bertumpu kepada hasil penjualan minyak dan gas bumi.  Apakah kita masih akan berpikir bahwa minyak dan gas bumi ini tetap akan tersedia dalam perut bumi yang ada di wilayah kedaulatan negara Indonesia?

Kultur Energi “Produsen”   
           
Minyak bumi merupakan bahan bakar yang sangat ideal. Pertama, bahan bakar ini dalam bentuk cair pada kondisi ruang sehingga mudah untuk didistribusikan ke mana saja. Nilai bakarnya paling tinggi jika dibanding dengan bahan bakar lain. Penggunaannya sangat mudah dan harganya di Indonesia sudah terbiasa dengan harga yang ditetapkan lebih murah dari harga internasional. Minyak bumi ini bisa diperoleh dari perut bumi Indonesia. Kebiasaan hidup dengan BBM  tentu menimbulkan kesulitan apabila kemudahan berubah menjadi kesulitan, murah menjadi mahal, penghasil  menjadi pembeli dan seterusnya. Kultur energi seperti inilah yang telah tertanam dalam masyarakat Indonesia. Semua kebijakan publik oleh pemerintah selalu terikat kuat terhadap kultur energi yang sudah terkultivasi seperti sekarang ini dalam waktu cukup lama.

Kultur energi minyak dan gas bumi Indonesia yang sudah tertanam sebagai kultur produsen dimana kebiasaan dengan bahan bakar  murah sudah tidak cocok lagi jika ditinjau dari kondisi Indonesia sekarang.  Kultur energi produsen membuat ketahanan ekonomi Indonesia diombang-ambingkan oleh variabel harga minyak dan gas bumi internasional.  Keterombang-ambingan ini menciptakan ketidakstabilan Perubahan kebijakan harus diambil  melalui perubahan kulturnya.  Perubahan ini dimulai dengan pendekatan yang terpadu.

Kultur energi produsen membuat masyarakat terbiasa dengan segala kelebihan BBM untuk   pemenuhan kebutuhan energi sehari-hari. Sistem seperti ini telah mengakar di setiap sektor kehidupan. Masyarakat akan merespons keras setiap ada kenaikan harga BBM. Hal ini tentu wajar karena kultur energi produsen membuat kehidupan masyarakat dalam kecemasan yang sangat besar terhadap dampak kenaikan harga BBM. Mungkin sebagian besar dari kita masih menganut paham dalam memahami permasalahan BBM di Indonesia sebagai paham  produsen.
              

Kebijakan energi Indonesia selama ini didominasi oleh  kebijakan energi produsen. Apabila jumlah produksi masih jauh lebih besar dari jumlah konsumsi dalam negeri maka kebijakan ini mungkin masih bisa dikendalikan dengan baik. Kultur energi produsen  membuat pemerintah kewalahan dalam menghadapi permasalahan energi nasional. Subsidi BBM  menjadi penyakit utama yang membuat pemerintah tidak berdaya. 

Kebijakan untuk melepaskan diri dari ketergantungan pembiayaan negara dari penjualan minyak dan gas bumi sudah lama dilontarkan dan sudah diusahakan untuk diimplementasikan. Kebijakan itu tampak tidak memberikan perubahan yang mendasar. Nilai subsidi BBM  makin membesar yang dapat diibaratkan bagaikan bisul yang makin besar.   

Perubahan sistem politik Indonesia ke arah demokrasi pemilihan langsung membuat pemerintahan terpilih akan lebih berkonsentrasi pada kebijakan energi jangka pendek terfokus pada waktu lima tahun pertama saja. Kultur energi produsen ini akan tetap berjalan karena perubahan kultur energi akan berisiko kepada kepemimpinannya.  

Masalah laten energi Indonesia adalah ancaman yang jelas. Seberapa besar ketahanan perekonomian Indonesia menghadapi ini. Ancaman laten ini harus diantisipasi dari sekarang dengan perubahan kultur energi yang memberikan kestabilan dan ketahanan perekonomian Indonesia. Kalau sekarang tidak di mulai, maka generasi berikut jelas akan menanggung beban yang sangat  berat. 

Kultur Energi “Konsumen”

Kultur energi sebaliknya adalah kultur energi konsumen. Kultur energi seperti ini diperankan oleh negara-negara yang tidak memiliki sumber daya alam minyak dan gas bumi. Contoh  negara dengan kultur energi ini adalah Jepang, Korea,  Taiwan dan negara tetangga Singapura. Negara-negara ini mempersiapkan rakyatnya dengan kebijakan-kebijakan yang didasari kultur “konsumen”. Semua negara yang disebut ini membeli minyak dan gas alam. Minyak digunakan sebagai bahan bakar trasportasi. Gas alam dijadikan sebagai bahan bakar industri dan kehidupan masyarakat mereka. Infrastruktur sistem perpipaan gas alam sudah tersedia dengan jangkuan wilayah mereka untuk keperluan pertumbuhan ekonomi secara menyeluruh.

Kultur energi konsumen mendorong kebijakan-kebijakan energi yang mandiri pada semua tingkat kegiatan masyarakat. Masyarakat dan sistem usaha sudah terbiasa dengan flaktuasi harga bahan bakar. Ketahanan usaha dan kehidupan masyarakat ke depan akan lebih mapan dari ancaman persaingan. Disamping itu, pengefisienan sudah pasti menjadi perhatian utama dalam sistem produksi dan kehidupan dalam penggunaan energi. Negara akan terbebas dari beban berat subsidi energi karena kebijakan energi berkultur konsumen.

Indonesia pada dasarnya sudah menyadari ancaman terhadap beban subsidi bahan bakar yang selalu membengkak. Setiap ada kebijakan energi untuk menurunkan beban subsidi, maka usaha penolakan oleh masyarakat sangat besar. Pengaruh harga bahan bakar minyak dan gas ke tatanan kehidupan masyarakat di Indonesia sudah  sangat mengakar. Maka dari itu, kebijakan energi selalu berhadapan dengan rantai-rantai permasalahan yang saling terkait. Setiap rantai permasalahan memiliki kandungan dampak masing-masing.  Perubahan kultur energi dari kultur energi produsen ke konsumen perlu dilakukan secara komprehensif dan integratif.

Dari Sekarang Tanpa Gamang 



Data produksi dan konsumsi minyak mentah Indonesia pada gambar di bawah berbicara langsung kepada kita. Perubahan kultur penggunaan BBM dari kultur energi produsen ke kultur energi konsumen ini harus dari sekarang. Ini tidak boleh telat dan tidak boleh gamang. Bila telat dan selalu gamang, bagaimana anak cucu kita hidup ke depan di tahun 2050?.

Gambar 1 Profil Konsumsi dan Produksi Minyak Mentah Indonesia dari tahun ke tahun



Rantai  Permasalahan dan Penyelesainnya

Sekarang, harga minyak mentah dunia untuk Brent Crude adalah $US 46 per barrel. Bila nilai tukar $US adalah Rp 13700, maka harga dasar minyak mentah per liternya adalah sekitar Rp 4050. Konversi minyak mentah menjadi minyak  premium dan minyak diesel sekitar 74 %. Biaya bahan baku untuk 1 liter minyak premium atau minyak solar adalah sekitar Rp 5350. Bila biaya operasi produksi 1 liter minyak premium atau solar sebesar Rp 1500 atau US$0,4 per gallon, maka biaya  produksi 1 liter premium atau solar sekarang adalah sekitar Rp 6850. Maka untuk kondisi sekarang ini dengan harga Premium Rp 6150 dan Solar Rp Rp 5750 per liter, subsidi BBM ini diperkirakan masih ada. Jumlah subsidi BBM ini sudah menurun.

Antisipasi ke depan dengan kembali naiknya harga minyak mentah harus dipersiapkan. Kebijakan subsidi akan membuat keadaan keuangan negara tidak membaik. Migrasi dalam meninggalkan kebijakan subsidi ini sudah harus disusun dari sekarang. Harga minyak mentah ke depan akan kembali merangkak naik.

Setiap kebijakan kenaikan bahan bakar minyak jenis Premium dan Solar yang dilakukan karena harga minyak dunia naik jauh di harga asumsi minyak yang ditetapkan dalam APBN selama ini masih bersifat kebijakan sesaat. Seharusnya, kebijakan yang diambil haruslah kebijakan terencana untuk  memindahkan kultur energi Indonesia dari kultur energi produsen ke kultur energi konsumen. Jalan keluar jangka pendek yang pernah disampaikan permasalahan subsidi BBM sekarang ini berubah-rubah mulai  dari pembatasan pemakaian Premium dan Solar, perubahan BBM ke bahan bakar gas dan terakhir dengan menaikkan  harganya. Hal ini tentu menciptakan permasalahan sendiri dalam hal kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dalam penyelesaian masalah BBM ini. Ini juga mencerminkan kegamangan pemerintah sendiri dalam menanggung segala resiko yang akan ditimbulkan.



Rantai pertama yang terkena dampak langsung kenaikan BBM bersubsidi adalah kenaikan bahan makanan pokok dan yang lainnya. Hal ini sudah menjadi tradisi setiap kenaikan BBM. Rakyat miskin akan merasakan langsung dampak kenaikan bahan makanan ini. Penyelesaiannya tidak cukup dengan penyelesaian sesaat seperti berupa bantuan tunai langsung. Solusi permanen permasalahan ini haruslah melalui program pengaman sosial yang berkelanjutan. Indikator keberhasilan program ini adalah tidak ada orang yang tidak kelaparan di bumi Indonesia ini. Apabila program ini bagian dari APBN, maka pemerintah memiliki keyakinan dalam hal mengeluarkan Indonesia dari budaya energi produsen.

Rantai berikutnya terkait dengan ketenagakerjaan. Kekhawatiran biaya tinggi dari industri akan mengakibatkan  adanya penghentian hubungan kerja (PHK) oleh perusahaan. Solusi kearah ini tentu ke arah peningkatan efisiensi dalam penggunaan energi di setiap industri pemakai energi. Kebijakan dan regulasi pemerintah ke depan bahwa peningkatan efisiensi energi merupakan sebuah kewajiban industri dengan berbagai bentuk stimulasi dan insentif yang tersedia. Program ini harus menjadi budaya industri dan pemerintah.

Biaya hidup yang tinggi karena harga BBM tinggi untuk transportasi yang dirasakan rakyat dikarenakan sistem transportasi nasional yang dilepas begitu saja sebagai bisnis terbuka. Perubahan pola transportasi dari transportasi berdaya angkut kecil ke transportasi daya angkut massal haruslah menjadi perioritas pembangunan saat ini. Biaya transportasi untuk rakyat bisa terkendali dengan baik sehingga setiap kenaikan harga BBM dampaknya dapat diminimalisir oleh pemerintah.

Hal lain yang tidak kalah penting adalah pengefektifan APBN. Tentu tidak banyak berarti penurunan nilai subsidi BBM dalam APBN apabila APBN tidak dijalankan secara efektif. Ketidakefektifan dapat terjadi dalam berbagai hal.    

Persiapan-persiapan mendasar di atas adalah bagian dari sekian banyak  solusi permanen untuk keluar dari permasalahan subsidi BBM. Banyak hal-hal lain yang harus dirancang dengan baik untuk membawa  Indonesia keluar dari kultur energi produsen ke kultur energi konsumen. Setiap pemerintah yang mendapat amanah harus bekerja sungguh-sungguh dengan keyakinan bahwa ini demi masa depan Indonesia.   Pemerintah harus menghindari ke depan langkah-langkah yang sifatnya reaktif terhadap penanganan masalah subsidi BBM.     

No comments:

Post a Comment