Yazid Bindar
Teknik Kimia, Teknik Pangan, Teknik Bioenergi dan Kemurgi, FTI, ITB
yazid@che.itb.ac.id dan
http://yazid-bindar.blogspot.co.id
Anugerah Reski
Minyak dan gas bumi adalah anugerah
yang besar bagi setiap negara yang perut buminya terisi dengan bahan ini. Perlu diketahui, hanya sebagian
kecil perut bumi berisi bahan di atas. Maka beruntunglah negara
yang perut buminya terisi bahan-bahan tersebut. Tentu
Indonesia adalah salah satu negera yang beruntung. Penampilan ekonomi negara-negara yang memiliki
dan tidak memiliki rezeki tersebut, memang sangat berbeda.
Lebih banyak negara-negara yang tidak kebagian reski
minyak dan gas bumi dari yang kebagian. Nasibnya jelas berbeda dan tampilan juga berbeda. Keberadaan dan ketidakberadaan ini
ternyata bergantung pada bagaimana negara-negara itu menyikapinya. Banyak
negara kaya ternyata tidak memiliki rezeki ini. Banyak juga negara yang
memiliki rezeki ini, tetapi tidak mampu mengelolanya dengan baik.
Minyak dan gas bumi menjadi komoditas global dunia. Setiap negara
memerlukan komoditi ini. Bagi yang tidak memiliki, maka mereka akan membeli
dari negara yang memilikinya. Maka dari
itu, sangat sulit bagi suatu negara produsen minyak dan gas bumi untuk mengisolasi
ekonomi mereka untuk tidak dipengaruhi oleh harga minyak dan gas bumi internasional.
Kehidupan Nyaman
Transportasi berubah drastis. Sepeda diganti dengan sepeda motor. Mobil dan sepeda motor memadati jalan di mana-mana.
Penumpang pesawat di bandara sangat ramai seperti terminal bis. Kehidupan yang
dianggap nyaman sudah terdongkrak.
Tuntutan kehidupan yang nyaman
bagi generasi yang hidup sekarang makin besar. Ketika pasokan bahan
bakar bensin dan solar berkurang dan
harga naik, keributan besar terjadi di mana-mana. Dulu, kelangkaan
pasokan bahan bakar sepertinya tidak membawa keributan dalam skala seperti sekarang.
Tingkat kenyamanan yang dibutuhkan
dan banyaknya orang berkorelasi langsung atau positif dengan keperluan bahan
bakar (seperti Bensin, Solar,
Pertamax, LPG) dan Listrik. Mayoritas orang mengartikan bahwa kebutuhan ini akan selalu dapat
dipenuhi pasokannya. Perolehan pasokan yang mudah dengan harga yang murah tentu membuat orang terus menikmati kesenangan dan
kenyamanan itu.
Reski Terbatas
Keberadaan minyak dan gas bumi
dalam perut bumi tidaklah seperti air. Air di bumi ini jumlahnya tetap dan
apabila dia berubah bentuk akan kembali ke bentuk semula sehingga pasokannya
secara makro tidak berkurang. Minyak
dan gas bumi dalam pemanfaatannya berubah bentuk dan tidak akan pernah kembali
ke bentuk semula setelah dipakai.
Rekayasa pembuatan minyak dan gas
bumi oleh manusia juga tidak mungkin dilakukan. Sejarah pembentukan minyak dan
gas dalam perut bumi terjadi dalam waktu
jutaan tahun menurut perkiraan para ahli. Pembentukan ini tidak ada campur
tangan manusia sama sekali.. Kesimpulannya, minyak dan gas bumi sudah diberikan
hanya sebanyak yang ada, silakan atur penggunaannya apakah mau dihabiskan
sekarang atau dihemat-hemat.
Tuntutan kenyamanan hidup akan
memerlukan pasokan bahan bakar yang selalu meningkat. Pertanyaannya adalah apakah kita akan tetap
beranggapan bahwa minyak dan gas bumi itu akan selalu diproduksi oleh perut
bumi.
Indonesia harus bersyukur bahwa reski minyak dan gas bumi ini ada dalam perut
buminya. Ekonomi masih bertumpu kepada hasil penjualan minyak
dan gas bumi. Apakah kita masih akan berpikir bahwa minyak dan gas bumi ini tetap akan tersedia dalam perut bumi yang ada
di wilayah kedaulatan negara Indonesia?
Kultur Energi “Produsen”
Minyak bumi merupakan bahan bakar
yang sangat ideal. Pertama, bahan bakar ini dalam bentuk cair pada kondisi
ruang sehingga mudah untuk didistribusikan ke mana saja. Nilai bakarnya paling
tinggi jika dibanding dengan bahan bakar lain. Penggunaannya sangat mudah dan harganya di Indonesia sudah
terbiasa dengan harga yang ditetapkan
lebih murah dari harga internasional. Minyak bumi ini bisa diperoleh
dari perut bumi Indonesia. Kebiasaan hidup dengan BBM tentu menimbulkan kesulitan apabila kemudahan berubah menjadi kesulitan,
murah menjadi mahal, penghasil menjadi
pembeli dan seterusnya. Kultur energi seperti inilah yang telah tertanam dalam
masyarakat Indonesia.
Semua kebijakan publik oleh pemerintah selalu terikat kuat terhadap kultur
energi yang sudah terkultivasi seperti sekarang ini dalam waktu cukup lama.
Kultur energi minyak dan gas bumi
Indonesia yang sudah tertanam sebagai kultur produsen dimana kebiasaan dengan
bahan bakar murah sudah tidak cocok lagi jika ditinjau dari kondisi Indonesia
sekarang. Kultur energi produsen membuat ketahanan
ekonomi Indonesia diombang-ambingkan oleh variabel harga minyak dan gas bumi
internasional. Keterombang-ambingan ini menciptakan
ketidakstabilan Perubahan kebijakan
harus diambil melalui perubahan
kulturnya. Perubahan ini dimulai dengan pendekatan yang
terpadu.
Kultur energi produsen membuat masyarakat terbiasa dengan
segala kelebihan BBM untuk pemenuhan kebutuhan energi sehari-hari. Sistem
seperti ini telah mengakar di setiap sektor kehidupan. Masyarakat akan merespons keras setiap ada
kenaikan harga BBM. Hal ini tentu wajar karena kultur energi produsen membuat
kehidupan masyarakat dalam kecemasan yang sangat besar terhadap dampak kenaikan
harga BBM. Mungkin sebagian besar
dari kita masih menganut paham dalam memahami permasalahan BBM di Indonesia sebagai paham produsen.
Kebijakan energi Indonesia selama
ini didominasi oleh kebijakan energi
produsen. Apabila jumlah
produksi masih jauh lebih besar dari jumlah konsumsi dalam negeri maka
kebijakan ini mungkin masih bisa dikendalikan dengan baik. Kultur energi produsen membuat pemerintah kewalahan dalam menghadapi permasalahan energi
nasional. Subsidi BBM menjadi penyakit utama yang membuat pemerintah
tidak berdaya.
Kebijakan untuk melepaskan diri dari ketergantungan pembiayaan negara dari
penjualan minyak dan gas bumi sudah lama dilontarkan dan sudah diusahakan untuk
diimplementasikan. Kebijakan itu tampak tidak memberikan perubahan yang
mendasar. Nilai subsidi BBM makin membesar yang dapat diibaratkan
bagaikan bisul yang makin besar.
Perubahan sistem politik
Indonesia ke arah demokrasi pemilihan langsung membuat pemerintahan terpilih
akan lebih berkonsentrasi pada kebijakan energi jangka pendek terfokus pada waktu lima tahun
pertama saja. Kultur energi produsen ini akan tetap berjalan karena perubahan
kultur energi akan berisiko
kepada kepemimpinannya.
Masalah laten energi Indonesia adalah ancaman yang jelas. Seberapa
besar ketahanan perekonomian Indonesia
menghadapi ini. Ancaman laten
ini harus diantisipasi dari
sekarang dengan perubahan kultur energi yang memberikan kestabilan dan
ketahanan perekonomian Indonesia. Kalau sekarang tidak di mulai, maka generasi
berikut jelas akan menanggung beban yang sangat
berat.
Kultur Energi “Konsumen”
Kultur energi sebaliknya adalah
kultur energi konsumen. Kultur energi seperti ini diperankan oleh negara-negara
yang tidak memiliki sumber daya alam minyak dan gas bumi. Contoh negara dengan kultur energi ini adalah
Jepang, Korea, Taiwan dan negara tetangga Singapura. Negara-negara ini mempersiapkan
rakyatnya dengan kebijakan-kebijakan yang didasari kultur “konsumen”. Semua
negara yang disebut ini membeli minyak
dan gas alam. Minyak
digunakan sebagai bahan bakar trasportasi. Gas alam dijadikan sebagai bahan
bakar industri dan kehidupan masyarakat mereka. Infrastruktur sistem
perpipaan gas alam sudah tersedia dengan jangkuan wilayah mereka untuk
keperluan pertumbuhan ekonomi secara menyeluruh.
Kultur energi konsumen mendorong
kebijakan-kebijakan energi yang mandiri pada semua tingkat kegiatan masyarakat.
Masyarakat dan sistem usaha sudah terbiasa dengan flaktuasi harga bahan bakar.
Ketahanan usaha dan kehidupan masyarakat ke depan akan lebih mapan dari ancaman
persaingan. Disamping itu, pengefisienan sudah pasti menjadi perhatian utama
dalam sistem produksi dan kehidupan dalam penggunaan energi. Negara akan
terbebas dari beban berat subsidi energi karena kebijakan energi berkultur
konsumen.
Indonesia pada dasarnya sudah
menyadari ancaman terhadap beban subsidi bahan bakar yang selalu membengkak.
Setiap ada kebijakan energi
untuk menurunkan beban subsidi, maka usaha penolakan oleh masyarakat sangat besar. Pengaruh harga bahan
bakar minyak dan gas ke tatanan kehidupan masyarakat di Indonesia sudah sangat mengakar. Maka dari itu, kebijakan
energi selalu berhadapan dengan
rantai-rantai permasalahan yang saling terkait. Setiap rantai permasalahan
memiliki kandungan dampak masing-masing.
Perubahan kultur energi dari kultur energi produsen ke konsumen
perlu dilakukan secara komprehensif dan integratif.
Dari Sekarang Tanpa Gamang
Data produksi dan konsumsi minyak
mentah Indonesia pada gambar di bawah berbicara langsung kepada kita. Perubahan
kultur penggunaan BBM dari kultur energi produsen ke kultur energi konsumen ini
harus dari sekarang. Ini tidak boleh telat dan tidak boleh gamang. Bila telat
dan selalu gamang, bagaimana anak cucu kita hidup ke depan di tahun 2050?.
Gambar 1 Profil Konsumsi dan Produksi Minyak Mentah Indonesia dari tahun ke tahun
Rantai
Permasalahan dan Penyelesainnya
Sekarang, harga minyak mentah
dunia untuk Brent Crude adalah $US 46 per barrel. Bila nilai tukar
$US adalah Rp 13700, maka harga dasar minyak mentah per liternya adalah sekitar
Rp 4050. Konversi minyak mentah menjadi minyak premium dan minyak diesel sekitar 74 %. Biaya
bahan baku untuk 1 liter minyak premium atau minyak solar adalah sekitar Rp 5350.
Bila biaya operasi produksi 1 liter minyak premium atau solar sebesar Rp 1500
atau US$0,4 per gallon, maka biaya produksi
1 liter premium atau solar sekarang adalah sekitar Rp 6850. Maka untuk kondisi
sekarang ini dengan harga Premium Rp 6150 dan Solar Rp Rp 5750 per liter,
subsidi BBM ini diperkirakan masih ada. Jumlah subsidi BBM ini sudah menurun.
Antisipasi ke depan dengan
kembali naiknya harga minyak mentah harus dipersiapkan. Kebijakan subsidi akan
membuat keadaan keuangan negara tidak membaik. Migrasi dalam meninggalkan kebijakan
subsidi ini sudah harus disusun dari sekarang. Harga minyak mentah ke depan
akan kembali merangkak naik.
Setiap kebijakan kenaikan bahan bakar minyak jenis Premium dan Solar yang
dilakukan karena harga minyak dunia naik jauh di harga asumsi minyak yang
ditetapkan dalam APBN selama ini masih bersifat kebijakan sesaat. Seharusnya,
kebijakan yang diambil haruslah kebijakan terencana untuk memindahkan kultur energi Indonesia dari
kultur energi produsen ke kultur energi konsumen. Jalan keluar jangka pendek
yang pernah disampaikan permasalahan subsidi BBM sekarang ini berubah-rubah
mulai dari pembatasan pemakaian Premium
dan Solar, perubahan BBM ke bahan bakar gas dan terakhir dengan menaikkan harganya. Hal ini tentu menciptakan
permasalahan sendiri dalam hal kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dalam
penyelesaian masalah BBM ini. Ini juga mencerminkan kegamangan pemerintah
sendiri dalam menanggung segala resiko yang akan ditimbulkan.
Rantai pertama yang terkena dampak langsung kenaikan BBM bersubsidi adalah
kenaikan bahan makanan pokok dan yang lainnya. Hal ini sudah menjadi tradisi
setiap kenaikan BBM. Rakyat miskin akan merasakan langsung dampak kenaikan
bahan makanan ini. Penyelesaiannya tidak cukup dengan penyelesaian sesaat
seperti berupa bantuan tunai langsung. Solusi permanen permasalahan ini
haruslah melalui program pengaman sosial yang berkelanjutan. Indikator
keberhasilan program ini adalah tidak ada orang yang tidak kelaparan di bumi
Indonesia ini. Apabila program ini bagian dari APBN, maka pemerintah memiliki
keyakinan dalam hal mengeluarkan Indonesia dari budaya energi produsen.
Rantai berikutnya terkait dengan ketenagakerjaan. Kekhawatiran biaya tinggi
dari industri akan mengakibatkan adanya
penghentian hubungan kerja (PHK) oleh perusahaan. Solusi kearah ini tentu ke
arah peningkatan efisiensi dalam penggunaan energi di setiap industri pemakai
energi. Kebijakan dan regulasi pemerintah ke depan bahwa peningkatan efisiensi
energi merupakan sebuah kewajiban industri dengan berbagai bentuk stimulasi dan
insentif yang tersedia. Program ini harus menjadi budaya industri dan
pemerintah.
Biaya hidup yang tinggi karena harga BBM tinggi untuk transportasi yang
dirasakan rakyat dikarenakan sistem transportasi nasional yang dilepas begitu
saja sebagai bisnis terbuka. Perubahan pola transportasi dari transportasi
berdaya angkut kecil ke transportasi daya angkut massal haruslah menjadi
perioritas pembangunan saat ini. Biaya transportasi untuk rakyat bisa
terkendali dengan baik sehingga setiap kenaikan harga BBM dampaknya dapat
diminimalisir oleh pemerintah.
Hal lain yang tidak kalah penting adalah pengefektifan APBN. Tentu tidak
banyak berarti penurunan nilai subsidi BBM dalam APBN apabila APBN tidak
dijalankan secara efektif. Ketidakefektifan dapat terjadi dalam berbagai
hal.
Persiapan-persiapan mendasar di atas adalah bagian dari sekian banyak solusi permanen untuk keluar dari permasalahan
subsidi BBM. Banyak hal-hal lain yang harus dirancang dengan baik untuk membawa
Indonesia keluar dari kultur energi
produsen ke kultur energi konsumen. Setiap pemerintah yang mendapat amanah
harus bekerja sungguh-sungguh dengan keyakinan bahwa ini demi masa depan
Indonesia. Pemerintah harus menghindari ke depan
langkah-langkah yang sifatnya reaktif terhadap penanganan masalah subsidi
BBM.